Apa sih yang saya rasakan waktu usia tahun ini menginjak usia 40?

Entahlah, antara senang tapi juga bingung. Sejujurnya biasa-biasa saja.

Ketika saya membayangkan usia 40 tahun di masa masa usia 20an, itu berasanya tua banget. Saya mulai masuk dunia blog saat usia di akhir 20an. Saat itu, ada banyak sekali blogger senior yang usianya mulai memasuki usia 40. Ketika itu, saya tidak melihat ada rasa “tua” di mereka. Mereka masih aktif nulis, aktif jalan-jalan (karena travel blogger), dan seperti menolak tua.

Jadi ketika saya di usia 40 ini, saya jadi paham. Oh saya tidak merasa tua kok.

Anggapan usia 40 itu tua, sepertinya karena persepsi masyarakat. Mungkin karena di dalam Islam, usia 40 adalah usia istimewa. Usia dimana seharusnya sudah mulai sadar diri, mulai masuk ke dalam dunia spiritualitas sesungguhnya karena semakin dekatnya usia kita ke Maha Pencipta. Dari situlah ada anggapan bahwa usia 40 itu usia yang sakral dan tidak pantas untuk melakukan hal-hal yang cocoknya dilakukan oleh anak-anak yang (lebih) muda.

Let Me Refresh…

Untuk mencapai usia 40 dengan kebebasan finansial, tentunya butuh banyak sekali perjuangan. Tidak terkecuali saya. Hidup saya yang terlihat mudah di sosmed, pada kenyataan ada banyak juga hal-hal yang harus dilewati.

Sebelum saya sampai ke motivasi ala-ala, perlu dicatat bahwa saya dari keluarga ber-privilege dalam hal pendidikan, finansial, dan saya sangat dibantu oleh orang tua sampai hari ini.

Jadi yang saya lakukan adalah memanfaatkan sepenuhnya privilege yang saya dapatkan untuk keuntungan saya sendiri dan orang lain. Mulai dari belajar yang bener, rajin sekolah ngga pernah bolos, ikut les sana sini, ikut kegiatan sana sini, yang pada akhirnya membentuk saya menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa keluarga.

Hal ini juga yang menjadikan saya kuat dan hebat seperti yang ada di medsos. Dengan branding yang kayaknya cukup berhasil dan saya sendiri takjub karena bisa survive di dunia fana ini, di usia 40 tahun akhirnya saya memutuskan untuk sharing apa saja yang saya lakukan. Mungkin bisa diambil saja hikmahnya, tidak bermaksud menggurui tapi sapa tahu bisa jadi pelajaran, khususnya buat anak anak muda.

Early 20s…

Hidup saya sejujurnya dimulai waktu sma, pada saat usia 17an. Saya sudah tau saya mau kuliah apa, menikah usia berapa, dan dimana mencari calon suami yang bibit bebet bobotnya kurang lebih sama. Hal ini juga didukung oleh orang tua karena saya selalu berdiskusi dengan ibu saya tentang hal-hal yang ingin saya lakukan di masa depan.

Dalam hal ini, peran orang tua dalam memberikan saran dan support sangat penting. Namun itu juga menjadikan mereka terbuka. Orang tua saya juga membebaskan saya menjadi apa saja yang saya mau, tentunya dengan tanggung jawab penuh atas keputusan saya.

Well, mari mulai dengan rencana kuliah. Saya kuliah di swasta elit Jakarta karena ibu saya tidak memperbolehkan saya kuliah di luar kota. Dengan fasilitas kendaraan roda empat pribadi, saya diwajibkan pulang ke rumah dan tidak boleh menginap. Saya berterima kasih dalam hal ini, karena pada akhirnya saya mengerti bahwa pergaulan ibukota itu sangat berat kalau tidak bisa membawa diri.

Sekali lagi, karena saya rajin belajar dan suka sekolah, saya merencanakan usia 24 tahun saya sudah harus selesai S2. Walaupun pada akhirnya selesai di usia 25, karena melahirkan anak kedua.

Speaking of married, sayapun sudah punya rencana sedari sma dan makin dikuatkan oleh teman semasa kuliah (yang pinter banget), dan memberi ide kalau menikah muda (tapi sudah berpenghasilan) itu paling penting. Kenapa? Saat kita muda, kita akan mempunyai keturunan yang kualitasnya bagus. Karena usia muda itulah, sperma dan ovum berada dalam kondisi terbaiknya (belum cek kebenarannya), tapi saya telan mentah-mentah karena masuk akal.

Jadi karena hal tersebut, saya memastikan bahwa rencana saya adalah menikah di usia 23-25 dan mencari pacar calon suami yang juga seiya sekata *eaaa.

Ketika sudah punya rencana menikah, hal utama yang harus dilakukan adalah mencari pekerjaan tetap dan langgeng. Hal ini pun sudah saya rencanakan sedari saya kuliah. Target saya adalah menembus PTN BUMN/BUMD/PNS. Tidak perlu dipungkiri, bekerja di sektor pemerintahan bisa dibilang aman secara finansial tanpa perlu khawatir jika ada pengurangan pegawai. Kebetulan juga, saya dan suami berasal dari keluarga yang bekerja di pemerintahan, jadilah klop dan sudah mulai belajar keras di jaman kuliah.

Jadi kalau jaman kuliah banyak sekali yang main-main dan tidak serius, justru sebaliknya. Saya berusaha keras mendapatkan IPK 3 ke atas, kursus untuk menambah portfolio di CV, dan banyak les untuk tes BUMN/CPNS. Begitu juga dengan suami saya di kala itu, bahkan blio bisa lulus 3,5thn untuk jurusan Teknik yang notabene susah.

Inilah pentingnya berusaha keras di usia 20an, karena menurut saya, apa yang kita lakukan di usia produktif ini sangat menentukan masa depan kita. Jadi yang saya lakukan di early 20 ini menjadi hal-hal penting bagi usia 40 saya. Apa saja sih yang saya lakukan:

  • Rajin belajar dan lulus S1 dengan predikat baik.
  • Fokus hanya ikut tes BUMN/BUMD/CPNS setelah lulus, alhamdulillah rejeki saya waktu itu di BUMD dan suami masuk BUMN
  • Menikah setelah pacaran 5 tahun dan sudah memiliki pekerjaan tetap (walau baru SK 80%)
  • Langsung punya anak 2 di usia 25 tahun
  • Langsung kuliah S2 setelah punya pekerjaan dan lulus di usia 25 tahun. Oia saya dulu sekelas dengan Ikang Fawzi dan Almarhumah Marissa Haque juga loh.
  • Hidup sehari-hari dengan bekerja dan mempunyai 2 anak.

Menurut saya, hidup di usia belasan dan 20 awal, itu adalah tonggak dari semua hal yang mau kita lakukan ke depannya. Kenapa hal ini menjadi penting, karena langkah hidup kita dimulai dari awal perencanaan yang matang. Kita jadi paham apa yang mau kita lakukan dan apa yang harus dilakukan.

Early 30…

Kalau kalian berpikir bahwa dengan perencanaan yang matang lalu hidup akan lebih baik, ya tydak sodara-sodara. Hidup bisa berencana, namun tetap Allah yang menentukan.

Ujian sesungguhnya adalah di usia 30 tahun, dimana mulai dewasa dan mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi dibandingkan dengan ujian orang lain, mungkin ada yang lebih berat. Jadi maapkan, saya tidak berusaha untuk membanding-bandingkan, saya juga paham bahwa saya sangat privilege dan ini tidak menjustifikasi ujian yang sesungguhnya.

Tapi yang saya sadari adalah, usia 30 bukan usia yang membuat kita berhenti melakukan sesuatu. Usia yang masih sangat produktif dan masih bisa melakukan apa saja. Saya merasa di usia inilah justru kita sudah paham sama diri sendiri, mau ngapain, punya tujuan yang jelas, dan tau apa yang harus kita lakukan.

Mungkin tidak mimpi yang muluk-muluk, tapi sekedar menjadi seorang ibu yang peduli dengan pendidikan anak, menjadi istri yang profesional dan support karir suami, dan juga menjadi diri sendiri dengan hobi yang membuat kita tenang dan positif.

Di akhir usia 20an dan awal 30an inilah pada akhirnya saya menemukan passion yang selanjutnya menjadi titik balik kehidupan saya. Tidak hanya fokus dengan keluarga, tapi juga dengan diri sendiri. Yang mana waktu itu, saya membedah diri dan mengenal karakter saya sendiri melalui sarana menulis.

Yap, hal termudah yang bisa dilakukan untuk mengenali potensi dan jati diri adalah dengan bercerita dengan diri kita sendiri. Kalau tidak ada yang mau mendengarkan, ya sudah. Tulis saja di blog, dibaca sendiri, dihayati sendiri, dan dipelajari sendiri. Itulah yang terjadi dengan diri saya di usia 30an.

Hey, I’m 40!

So here I am.

Memasuki usia 40 dengan rasa puas sudah melakukan yang terbaik di usia-usia saya sebelumnya. Saya tidak mau memasuki usia 40 dengan rasa yang syukur yang kurang, dengan beban hidup yang saya sesali karena tidak bekerja keras di usia muda, dan merasa cukup dengan yang ada.

Saya tidak mau ada penyesalan memasuki usia-usia yang dibilang semakin sedikit waktunya. Itulah yang menjadi alasan, kenapa di masa usia yang emas itu saya bekerja melebihi ekspektasi saya sendiri.

Saat ini, saya menjalani hidup lebih santai dan sebisa mungkin melepaskan beban berat yang seharusnya tidak menjadi tanggung jawab kita. Menikmati hari demi hari dan bersyukur setiap harinya.

Sekali lagi, saya berharap hidup masih panjang. Masih banyak peer, terutama meneruskan legacy ke anak-anak yang mana pengalaman saya bisa menjadi pelajaran berharga untuk mereka atau mungkin buat kamu yang membaca tulisan ini 🙂

Salam,

Shintaries