PPDB JAKARTA 2023 (Dan Segudang Masalahnya)
Hari-hari pendaftaran PPDB Jakarta 2023 datang lagi. Mengalami ppdb nyaris tiap tahun karena punya anak yang hanya selisih setahun, bikin saya cukup “gape” urusan ppdb ini. Jangan kaget, di Jakarta itu sangat kompetitif kalau urusan sekolah. Emak emak penggemar drakor yang udah nonton Sky Castle, Class of Lie, atau yang terbaru Crash Course in Romance, ternyata beneran terjadi juga di Jakarta Raya tercinta ini.
Mungkin pada heran, kok segitunya banget sama sekolah. Ya monmaap, ternyata itu dikarenakan mengincar sekolah negeri terbaik di Indonesia yang kebetulan memang ada di Jakarta Selatan. Baik tingkat SMP maupun SMA. Saya ngga bahas swasta karena itu jauh berbeda pandang. Yang saya bahas pun orang tua yang sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya karena mereka punya sejarah sekolah bagus (negeri) pada masanya. Sehingga tingkat kompetitifnya pun semakin tinggi. Tidak hanya di kalangan anak-anak tapi justru di orang tuanya. Menarik kan 😀
Tentu saja hal ini dipicu oleh sistem penerimaan sekolah negeri yang ditentukan oleh dinas pendidikan melalui skema PPDB. Yang mana, selalu saja ada polemik yang membuat orang tua harus putar otak untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah negeri terbaik impian anak (dan orang tua).
Apa Itu PPDB Jakarta 2023?
Seleksi penerimaan siswa baru di sekolah negeri di ppdb jakarta 2023 dipusatkan menjadi satu website di ppdb.jakarta.go.id. Lebih enak lebih praktis sebetulnya. Prosesnya mudah dan sudah terintegrasi dukcapil. Paling kendalanya hanya di server yang suka error karena traffic. Masih wajar sebetulnya karena itu kendala umum ketika semua orang mengakses bersamaan.
Kenapa itu terjadi, ya karena memang salah satu faktor penentuan seleksi adalah waktu mendaftar yang diutamakan bagi pendaftar yang duluan mendaftar. Makanya ngga heran pada ngga sabaran. Padahal menurut saya ngga terlalu ngaruh banget sih ya. Karena pada akhirnya tergantung jalur ppdb jakarta 2023 yang dipilih.
Jalur penerimaan ppdb jakarta 2023 pun terbagi menjadi beberapa bagian yang bisa dipilih oleh orang tua. Nah, jalur-jalur inilah yang akhirnya menjadi polemik dan masalah penerimaan siswa baru menjadi pelik. Ngga heran setiap tahunnya pasti menuai protes. Hanya setahun dua tahun kemarin aja tuh setau saya tidak protes, karena ada covid dan semua sedang sibuk menyelamatkan diri dari virus mematikan karena memang lagi tinggi-tingginya.
Nah berhubung bulan ini sudah mau mendekati ppdb jakarta 2023 lagi, jadi saya mulai tertarik lagi membahasnya. Siapa tau bisa jadi pada punya gambaran, gimana serunya dunia per-emak-an dan dunia drakor yang menjadi nyata.
Jalur Penerimaan PPDB Jakarta 2023
Semenjak era covid dan peniadaan Ujian Nasional, terjadi perubahan sistem penerimaan siswa baru sekolah negeri dengan menggunakan nilai rapor. Yes, semua emak era dulu akan selalu bilang, enak pakai nilai UN ya karena lebih praktis. Tapi ya kita harus menerima kenyataan, kalau memang UN sudah dihapus dan tidak digunakan lagi (paling tidak di era ini).
Sebagai emak cerdas tidak gaptek yang selalu catch up dengan pendidikan ter-update, harusnya selalu mau belajar dan memahami bagaimana sistem akan selalu berubah dan bagaimana kita beradaptasi kan. Jadi seharusnya tidak akan terlalu berguna, kalau waktu kita dihabiskan untuk marah, ngomel, atau protes. Justru kita harus selalu memantau perkembangan supaya kita tau, bagaimana caranya bisa bersaing secara kompetitif dan sehat. Nah mulailah dengan memahami jalur-jalur penerimaan siswa baru ppdb Jakarta 2023 yang bisa kita ikuti.
Tidak seperti jalur penerimaan di berbagai daerah, jalur penerimaan di ppdb Jakarta 2023 ini agak unik dan berbeda. Definisinya benar-benar harus dipahami dan memang terlihat rumit namun tidak sulit untuk dipahami. Tapi memang ada beberapa hal yang orang-orang tidak setuju karena faktanya di lapangan jauh berbeda dengan tujuan awalnya.
Jalur pertama dimulai dengan jalur prestasi yang terdiri dari jalur akademik dan non akademik. Kedua jalur ini mengutamakan nilai sidanira (rapor) yang tinggi yang nanti akan diperhitungkan bobotnya sesuai dengan pemilihan tipenya. Namun ternyata tidak cukup hanya nilai rapor saja, karena HARUS ada sertifikat pencapaian prestasi akademik atau non akademik, kepengurusan OSIS, serta kepengurusan Ekskul. Ketika hanya memiliki nilai sidanira saja tanpa dilengkapi 3 hal tersebut, jangan harap bisa lolos di jalur prestasi. Karena memang kuotanya sangat sedikit namun peminatnya banyak dan beberapa sudah aware dengan kebutuhan sertifikat dan kepengurusan.
Makanya saya bilang, hal yang terjadi di drakor itu beneran kejadian di sini. Karena mungkin sistem ini sudah lebih dulu dipakai di negara lain dan baru saja diterapkan di Jakarta, sehingga persaingan untuk mendapatkan sertifikat + kepengurusan menjadi lebih ketat. Jadi tidak heran, orang tua akhirnya harus turun tangan, kalau anaknya tidak mau digeser oleh orang tua lainnya yang juga memperjuangkan hal yang sama. Ngeri kan wkwkwk!
Yang jadi masalah adalah di sistem perhitungan nilai akhir, dimana pada akhirnya nilai sidanira ini tidak menjadi berpengaruh jika tidak ada sertifikat pendukung dan kepengurusan. Jadi pada akhirnya, malah jadi berlomba-lomba ikut kompetisi demi sertifikat dan rebutan jadi pengurus ekskul demi menambah nilai PPDB. Ngga lagi yang beneran passion di salah satu ekskul dan beneran punya visi misi untuk memajukan sekolah melalui organisasi siswa. Sudah melenceng jauh euy!
Jalur kedua yang juga sama bermasalahnya adalah jalur zonasi yang berbeda dengan di beberapa daerah. Jalur zonasi di DKI Jakarta ini tidak hanya disesuaikan oleh lokasi tempat tinggal saja, tapi hasil seleksinya ditentukan oleh usia. Iya betul, diurutkan dari yang tertua sampai yang yang termuda. Dengan kuota sebesar 50% dari kapasitas sekolah, tentunya orang banyak berharap di jalur ini. Tapi ada daya, pengurutan berdasarkan usia ini tentunya tidak adil.
Tidak hanya karena pengurutan usia saja yang menjadi masalah, karena pada akhirnya lagi-lagi tujuan dari zonasi tidak tercapai kan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa cara-cara (curang) dengan memindahkan kartu keluarga si anak lazim dilakukan semenjak jaman dahulu kala. Hal ini terjadi kembali di ppdb jakarta 2023 dan makin marak. Malah terkesan diperjualbelikan karena untuk memindahkan NIK anak ke sebuah KK yang masuk zonasi terutama prioritas 1, biasanya dipatok jutaan rupiah loh. Demi bisa lolos ppdb jakarta 2023, orang tua ngga segan-segan membayar dan akhirnya membludaklah itu semua perpindahan zonasi dengan mengganti KK si anak.
Tidak tanggung-tanggung, dalam 1 KK sudah ada 5-10 anak dengan orang tua yang berbeda. Hadeuhhh. Lalu apa gunanya ada sistem zonasi yang tujuannya adalah mendekatkan sekolah dengan tempat tinggal kalau pada kenyataannya tetap saja lokasi asli rumah mereka itu jauh. Bahkan mungkin, si anak asli malah ngga kebagian karena ada banyaknya anak lain yang terdaftar di lingkungan itu. Apalagi tidak ada verifikasi langsung ke lokasi dan tidak ada yang memastikan bahwa benar anak tersebut memang benar satu keluarga.
Cerita lainnya, demi meloloskan anak-anaknya ke ppdb jakarta 2023, tidak tanggung-tanggung juga, ada orang tua yang sudah siap dengan membeli rumah sekitaran sekolah bahkan rela pindah kontrakan demi mendapatkan alamat. Tentunya cari yang dekat sekolah unggulan tersebut dong. Keren kan, ngga nanggung loh perjuangannya. Jangan kagettt!!! 😀
Masalah Demi Masalah di PPDB Jakarta 2023
Saya juga bukan datang dengan banyak solusi dan punya cara terbaik untuk memperbaiki ini. Tapi ini sekedar menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi di masyarakat dan bagaimana pola PPDB ini membentuk persaingan yang menjadi lebih kompetitif dan tidak sehat. Tidak hanya terjadi di anak-anak saja namun juga orang tuanya. Karena pada akhirnya semua keputusan tentunya ada di tangan orang tua yang menginginkan sekolah terbaik untuk anaknya.
Untuk orang tua yang masih memercayakan sekolah negeri masih tempat terbaik, tentunya pemerintah harus percaya diri bahwa masih dipercaya sebagai rujukan pendidikan yang oke. Walaupun sudah banyak sekolah swasta dengan segudang kurikulum bawaan dari luar, namun sekolah negeri akan selalu menjadi pilihan karena masih ada sekolah terbaik yang menjadi incaran.
Namun pada akhirnya, masalah yang sudah kerap terjadi setiap tahunnya tidak menjadikan adanya perubahan signifikan untuk mengatasinya. Malah cenderung dianggap sudah menjadi sistem terbaik dan tetap digunakan. Karena itulah, selalu akan ada hal tidak adil dalam penerimaan siswa baru dan para orang tua harus menerima apa adanya.
Menurut saya pribadi, yang paling bermasalah adalah jalur zonasi. Mulai dari kuotanya yang terlampau besar sampai penentuan hasil seleksi berdasarkan usia. Jalur zonasi menjadi sia-sia ketika tujuan utama menjangkau anak yang tinggal di sekitar sekolah, untuk dapat bersekolah di lokasi terdekat dari rumahnya menjadi tidak tercapai. Bagaimana tidak, setahun dua tahun sebelumnya, sudah banyak orang tua yang memindahkan NIK anaknya menumpang di KK rumah yang dekat dengan sekolah incaran. Menjadi lebih sia-sia lagi ketika tujuan besar untuk mengurangi kemacetan Jakarta tidak tercapai, karena si anak tersebut tidak benar-benar tinggal sesuai KK yang terdaftar di Dukcapil.
Faktor usia pun menjadi masalah besar, karena walaupun tujuan utama adalah semua dapat bersekolah tidak berdasarkan kecerdasan, namun seleksi berdasarkan usia tentunya sangat tidak adil. Harus ada metrik lain yang dijadikan acuan seleksi. Verifikasi lokasi tempat tinggal yang sebenarnya misalnya. Oleh karenanya, sebaiknya kuota zonasi tidak perlu mencapai 50%. Faktanya, hasil zonasi tidak sesuai dengan peta prioritas karena banyak anak yang tidak tinggalnya tidak sesuai KK. Jadi bisa dilihat kalau tujuan zonasi tidak tercapai. Jadi buat apa??!!
Masalah sertifikat dan kepengurusan juga akhirnya menjadi rumit. Anak jadi tidak fokus belajar dan memahami pelajaran. Mau tidak mau, mereka juga harus membagi waktu antara organisasi dan ekskul. Walau itu sesuatu hal yang baik, namun jadi terasa ada keterpaksaan. Jadi terkesan sia sia belajar dan tidak cukup hanya mendapat nilai bagus, kalau tidak mendapatkan sertifikat atau menjadi pengurus. Karena dengan nilai pas-pasan pun, si anak bisa lolos ppdb jakarta 2023 hanya dengan modal sertifikat dan kepengurusan. Terasa sia-sia belajar di sekolah walau punya nilai 90 ke atas. Wew. Capek banget.
Saya paham tujuannya memang untuk pendidikan yang lebih baik. Tapi buat saya yang sudah mengikuti ppdb jakarta sejak 2019 dan sistem baru ini dimulai, rasanya makin ke sini makin berat. Karena era kompetitifnya sudah berasa bahkan dari dua tiga tahun sebelum masuk sekolah. Bagaimanapun, kami orang tua masih menaruh harapan loh di sekolah negeri (terbaik) di negara ini. Yah moga-moga saja, makin ke sini perbaikan semakin baik terutama untuk wilayah Jakarta. Semangatt yaa mamm!!!
Halo mbak Shintaries 😊 Wah, ini posisi Fakhri, anak bungsuku. Tgl 26 Juni besok menanti PPDB SMA jalur zonasi tuh. Setuju sama opini mbak di artikel ini. Anakku pintar, sholeh, nilai2nya oke lah 90 an juga banyak. Ikut ekskul iya, tapi bukan pengurus dan dia lelah sekali mengelola waktu belajar dengan kegiatan lainnya. Apalagi di MTS kan mapelnya bererot. Iseng kmrn coba japres, iya lah langsung gatot wkwkwk wong ga punya prestasi secara sertifikat dll. Ada temannya nilai rerata rapor di bawah anakku tapi krn ada 1 sertifikat lomba X misalnya, dapatnya si teman itu di SMAN favorit. Oh ya, anakku baru 15 tahun 3 bulan 🫢🫢 Hhmm… tapi ga dipusingin amat sih. Udah punya pegangan SMA swasta dengan kualitas bukan kaleng2. Let’s see gimana rezeki Allah aja deh yang penting udah ikhtiar dan dia berpegang teguh di jalan yang benar alias ogah nyontek. Doain ya mbak semoga F dapat sekolah terbaik buat dia menurut Yang Maha Kuasa aamiin. Eh, si sulung juga lagi nunggu pengumuman PTN 20 Juni besok nih 😃😃😃😃
Waaa semangatt yaa mba nurul, semoga semua dimudahkan dan sesuai dengan harapan yaa. Sistemnya makin ke sini makin ke sana ya wekekek. Sukses semuanya mbaa 😀
Ternyata tiap daerah punya permasalahannya sendiri-sendiri ya Mbak. PPDB SMA Jabar dengan nilai-nilai dewanya dan tidak transparan. Sementara yang PPDB SMP kota Bandung dengan nilai peringkatnya.
Iya mba, ternyata kebijakannya masih belum bisa memenuhi kebutuhan dan formula terbaiknya belum ada.
Pengalaman pertama saya ikutan daftar PPDB tahun 2020 kemarin. Jadi berasa cuma iseng-iseng. Seperti mainan gitu. Berharap dapat sekolah negeri. Tapi yah … Dari prestasi masih belum berhasil. Bahkan tidak tahu kalau harus ada sertifikat ini itu. Pas coba daftar zonasi kalah di umur. Jadi sistem PPDB sekarang memang terasa tidak adil banget.
Baru tahu kalau orang tua pada segitu curangnya ya untuk mendapatkan sekolah. Lantas untuk apa mereka menyekolahkan. Kalau sudah di awali dengan kecurangan dan ketidakadilan. Bukankah anak disekolahkan suoaya menjadi pribadi yang baik, jujur, dan adil?
Tidak habis nurul dengan mereka itu.
Semoga setelah ganti presiden dan ganti pembantunya. Sistem PPDB bisa dievaluasi dan diperbaiki secara keseluruhan.
Wah panjang banget komennya. Terbawa ikut emosi. Maafkan y 😅ðŸ¤.
Hahahha iya mba, esmosi karena sistem ya.
Sistem yang buat masih manusia kok dan pastinya bisa dievaluasi supaya kedepannya jadi lebih baik.
Cuma iseng mau nanya.. Sekolah Negeri Terbaik itu kriterianya apa yah? Apa memang ada data atau sekedar asumsi belaka.
Saya pikir masalah PPDB berdasar bukan pada sistemnya sendiri. Masalah utamanya ada pada stigma “sekolah terbaik”, “sekolah favorit” yang ada di benak masyarakat.
Nada merendahkan dalam tulisan mbak cuma mencerminkan itu saja “Yang saya bahas pun orangtua yang sangat peduli pada pendidikan anak-anaknya..” Lalu mereka yang tidak mengejar sekolah negeri, apa dikategorikan ortu yang ga peduli pada pendidikan anaknya.
Yang seperti ini menunjukkan bahwa stigma sekolah negeri “favorit” akan memberikan masa depan yang lebih baik sudah tertanam begitu dalamnya di benak para ortu.
Dan, di sanalah masalahnya berada. Kecenderungan ini mendorong masyarakat mengejar sekolah favorit dan karena persaingan tinggi pada akhirnya banyak yang bersedia melakukan dengan berbagai cara, termasuk curang.
Oleh karena itulah segala celah akan coba dicari dan seperti diketahui sistem apapun akan selalu ada celah. Hasilnya, kecurangan akan selalu terjadi karena yang berniat curang itu banyak.
Ujungnya semua dengan mudah melemparkan kesalahan kepada “SISTEM” yang tidak bisa membalas. Padahal,sebenarnya sih, kesalahannya ada di benak kepala masing-masing.
Nggak percaya? Coba saja lihat perkataan yang saya kutip di atas..Apakah para orangtua yang tidak mengejar sekolah negeri favorti atau yang memilih sekolah swasta termasuk ortu yang tidak peduli.. Ataukah penulis merasa sebagai ibu yang mengejar sekolah negeri berarti lebih peduli anak dibandingkan ortu lainnya?
Tidak heran kalau sistem yg ada terus amburadul karena masyarakatnya memiliki pandangan seperti ini sih menurut saya.. Akar masalahnya masih terlalu kental..
Cuma iseng mau nanya.. Sekolah Negeri Terbaik itu kriterianya apa yah? Apa memang ada data atau sekedar asumsi belaka.
>> Data sekolah negeri terbaik dan favorit, ini sudah berlangsung lama pak. Bisa dicari sendiri pak, kalau memang bapak aja mau repot repot baca tulisan saya ya kan. Bisa lihat dari data nilai UTBK yang dirilis oleh LTMPT, histori alumi, dan anak anak yang masuk ke sekolah tersebut pada saat jalur UN. Jaman dulu, buat masuk ke sekolah itu susah, bukan karena sekolahnya yang bagus tapi anak anaknya yang punya nilai bagus yang berebut pengen bareng sesama orang-orang yang rajin belajarnya.
Sekedar favorit dan terbaik juga sebetulnya ngga seremeh itu sih pak. Ngga sekedar jargon terbaik. Tapi lingkungan anak, pertemanan, guru, dan ekosistem sekolah sangat sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Yang mungkin bapak ngga tau, ngga sekedar output aja yang didapat tapi outcome jangka panjang berpengaruh besar di masa depan.
Mungkin bapaknya belum pernah berada di kondisi yang seperti itu, jadinya iseng nanya karena ngga tau gitu yah
—-
Saya pikir masalah PPDB berdasar bukan pada sistemnya sendiri. Masalah utamanya ada pada stigma “sekolah terbaik”, “sekolah favorit” yang ada di benak masyarakat.
>>> Pak, judulnya saja PPDB. Semua orang berhak untuk masuk sekolah negeri dengan berbagai macam cara tanpa ada pengecualian. Sistem kan yang buat juga manusia ya, orang. Kalau pada akhirnya sebuah sistem aja ngga bisa mengakomodir kebutuhan anak-anak bisa sekolah di sekolah negeri, masa salah stigmanya.
Satu, bapak tau ngga, kalau masuk sekolah itu diurutkan usia kalau di jakarta? Pada saat ada sistem seperti itu, semua orang akan merasa berhak dan merasa harus bisa dapat sekolah loh pak.
Tidak ada ukuran baku seperti nilai atau bahkan ada validasi jarak dari rumah ke sekolah. Karena SISTEM hanya MESIN yang menyimpan data, yang tugasnya cuman mengurutkan data usia dari tinggi ke rendah.
Pada akhirnya, kenapa tidak adil, ya yang tinggal dekat sekolah bahkan di belakang sekolah saja ngga bisa sekolah, karena urut usia padahal usia sudah sangat cukup. Mungkin bapak bisa cek, ada usia 9 dan 10 tahun yang masuk sekolah SD. Ini kalau bapak ngga iseng tanya juga ya, jadi mau cari data kaya gini biar ngga sekedar asbun.
Kedua, boro boro mikirin stigma sekolah terbaik dan sekolah favorit pak. Dapet sekolah aja sudah syukur. Faktanya, karena SISTEM yang bapak harus pahami itu dibuat manusia dan tidak mengakomodir sebagian kebutuhan anak untuk bersekolah. Pada akhirnya, korban SISTEM yang kata bapak tidak bisa disalahkan ini, ya membuat anak anak harus berhenti sekolah dan lanjut di tahun depan karena usia akan jadi lebih tua.
Ketiga, sekali lagi, lingkungan belajar, pertemanan, sekolah, guru, dan dukungan lain itu penting untuk anak-anak yang memang rajin belajar. Faktanya, anak-anak tersebut juga ngumpul di satu sekolah yang dianggap “sekolah favorit”. Walau pada akhirnya kuota untuk anak-anak tersebut semakin sedikit tapi itu juga ngga ada yang protes. Dan lagi ya, point of view saya hanya mengacu pada sekolah sekolah yang memang sesuai data memiliki nilai-nilai yang bagus (ini monggo riset lagi).
Jadi tentu saja ketika SISTEM tidak berjalan baik, ya harus diubah dong. Bukan hanya karena keinginan orang tua yang memasukkan anak ke sekolah favorit aja, korbannya adalah anak anak yang harus putus sekolah karena ngga punya biaya sekolah di sekolah negeri.
—-
Nada merendahkan dalam tulisan mbak cuma mencerminkan itu saja “Yang saya bahas pun orangtua yang sangat peduli pada pendidikan anak-anaknya..” Lalu mereka yang tidak mengejar sekolah negeri, apa dikategorikan ortu yang ga peduli pada pendidikan anaknya.
>>> Saya kurang paham, apa pak anton pernah bersekolah di lingkungan sekolah negeri dan berada pada lingkungan beragam seperti di Jakarta, terutama bergaul langsung dengan para ibu-ibu.
Tipe-tipe orang yang mencari pembenaran atas opininya dan selalu melihat celah kesalahan, akan selalu kaya pak anton gini ya. Yang dibahas A tapi diarahkan ke B, yang mana saya ngga ada merendahkan sih, karena itu kan asumsi pak anton belaka. Ya itu saya persilahkan.
Perkara yang lain tidak peduli soal masalah sekolah, kalau pak anton berada di lingkungan sekolah terutama orang tua, banyaakkkk sekali loh pak, yang hanya merasa perlu bahwa anaknya yang penting bisa sekolah (saja). Orang tua tidak ikut campur dan tidak mau tau atau peduli dengan anak (dan masa depannya). Hanya memberikan uang, nyumbang sekolah, tanpa tau pasti kebutuhan (belajar) anaknya. Jadi ngga ada tuh mikirin anaknya harus gimana-gimana, yang penting bisa sekolah, giliran kelibas sistem, nyalahin sistem atau stigma macem pak anton ini.
Dan lagi-lagi saya tidak mengkategorikan menjadi ortu yang tidak peduli, itu kan yang asumsi bikin kategori tandingan kan pak anton sendiri. Jadi ngga perlulah mengarahkan membuat saya jadi anti kepada orang tua yang tidak melakukan hal yang sama kaya saya. Ngga perlu disamaratakan pak, kita aja udah beda pemikiran.
—–
Yang seperti ini menunjukkan bahwa stigma sekolah negeri “favorit” akan memberikan masa depan yang lebih baik sudah tertanam begitu dalamnya di benak para ortu.
>>> Orang tua sih pasti udah tau pak dan banyak belajar dari masa masa orang tuanya sekolah, masa lalu, dan historikal. Ketika pak anton tau, kalau punya kemampuan biasa-biasa saja namun didukung sekolah yang positif dan punya teman suportif rajin belajar mampu membuat kita jadi lebih baik di masa depan, pasti pak anton ngga akan punya pemikiran kaya gini deh.
Hal ini sih menjelaskan buat saya, kalau sebetulnya hidup pak anton hanya penuh asumsi tanpa tau/menjalani kehidupan yang telah dilalui oleh para orang tua yang ingin punya lingkungan yang baik dalam segi pendidikan.
——
Dan, di sanalah masalahnya berada. Kecenderungan ini mendorong masyarakat mengejar sekolah favorit dan karena persaingan tinggi pada akhirnya banyak yang bersedia melakukan dengan berbagai cara, termasuk curang.
Oleh karena itulah segala celah akan coba dicari dan seperti diketahui sistem apapun akan selalu ada celah. Hasilnya, kecurangan akan selalu terjadi karena yang berniat curang itu banyak.
>> Sekali lagi, ini cuma asumsi pak anton yang bahkan ngga paham situasi kondisi persekolahan. Dan faktanya, masalahnya ngga sependek pemikiran pak anton yang berdasarkan asumsinya disebabkan oleh sekolah favorit. Boro-boro dapet sekolah pak, karena SISTEM yang amburadul, banyak yang ngga dapet sekolah, lalu melakukan hal curang untuk dapat sekolah, syukur-syukur dapet yang katanya favorit.
Coba dibuka pemikirannya pak, jangan mengerucut jadi sekolah favorit aja masalahnya.
—–
Ujungnya semua dengan mudah melemparkan kesalahan kepada “SISTEM” yang tidak bisa membalas. Padahal,sebenarnya sih, kesalahannya ada di benak kepala masing-masing.
>> Sumpah saya ketawa bacanya. Pemahaman sistemnya aja salah. Yang namanya sistem sekali lagi, dibuat oleh manusia pak. Yang ngga bisa balas itu mesin datanya. Duh, repot saya klo ngobrolnya aja ngga nyambung gini.
Dari ketidakpahaman pak anton soal sistem aja, ya saya paham kenapa pada akhirnya yang disalahkan adalah benak kepala masing-masing. Wkwkwkwk ya kemampuan otak orang aja berbeda-beda, kenapa jadi harus ada benar dan salah.
—-
Nggak percaya? Coba saja lihat perkataan yang saya kutip di atas..Apakah para orangtua yang tidak mengejar sekolah negeri favorti atau yang memilih sekolah swasta termasuk ortu yang tidak peduli.
>>> Ini nanya karena pak anton ngga nemu ada tulisan saya yang nulis kalau ortu yang ngga ngejar favorit itu ngga peduli kan? Karena memang saya ngga bilang begitu pak. Itu bapak yang maksa loh harus bilang seperti itu. Kok senengnya harus ada lawan sih. Yang namanya opini tuh, yang diperdebatkan bukan anti-nya pak, tapi cari masalahnya yang bener.
Ataukah penulis merasa sebagai ibu yang mengejar sekolah negeri berarti lebih peduli anak dibandingkan ortu lainnya?
>>> Saya peduli, tentu saja! Ini anak loh, saya bertanggung jawab membesarkan dan mendidik loh karena amanah. Kalau merasa Si Paling, lagi-lagi itu ASUMSI pak anton yang memiliki benak yang merasa benar loh dan sukanya membanding-bandingkan dan harus banget merasa direndahkan. Hahahaaa. Maksa bener harus sesuai asumsi pak anton dah.
Tidak heran kalau sistem yg ada terus amburadul karena masyarakatnya memiliki pandangan seperti ini sih menurut saya.. Akar masalahnya masih terlalu kental..
>>> Bapak ngga paham kali ya, masyarakat itu cuma ngikutin sistem. Kalau sistemnya aja ngga adil dan ngga bisa mengakomodir masyarakat, ya kudu piye pak. Masak masyarakat salah terus.
Eh iya kali ya harus salah masyarakat, karena kita kan cuman rakyat kecil yang harus ngikutin walo sistemnya ngga jelas wkwkwk.
Anyway, makasih ya opininya yang hmmmm gitu deh. Ngga papa sih saya nulis panjang lebar, biar lebih paham aja duduk permasalahan sebenarnya dan melihat pandangan yang berbeda supaya ngga terus menyalahkan orang. Dan saya paling ngga suka sih diarahkan untuk merendahkan orang lain seperti pak anton yang sangat maniak dalam menulis.
PPDB sedikit banyaknya ada oknum yang memanfaatkannya untuk keperluannya sendiri, benar ga si kak? pernah dengar gitu si