Siapa yang masih berebutan ketika masuk commuterline? Siapa yang masih juga duduk di kursi prioritas yang bukan peruntukannya? Siapa yang masih suka berhenti sembarangan di tempat yang bukan halte saat minta turun dari bis maupun angkot? Yes, saya ngacung dengan malu-malu. Berebut kursi kadang dilakukan karena capek setelah berjalan seharian atau karena ikut emosi didorong sana sini. Transportasi umum dengan segala rupa pasti sudah akrab bagi warga Jakarta.

Saya sendiri penikmat transportasi umum, walaupun sesekali membawa mobil kalau sedang terpaksa. Saya salah satu orang yang suka terpesona, karena berkeliling Jakarta dari ujung ke ujung, semua bisa terkoneksi oleh angkutan umum. Dari angkot yang hanya satu kali naik, bisa membawa kita dari barat ke selatan kota Jakarta. Iya, saya kagum dengan murahnya ongkos transportasi, jangkauan wilayah, dan “kecepatan” yang dihadirkan kopaja/angkot. Takjub dengan lumayan mahalnya ongkos bajaj dan ojek konvensional. Ngerasa senang duduk di depan bareng abang-abang yang lagi narik bemo. Name it, semua jenis transportasi umum sudah saya jabani semua.

Sayangnya, mungkin tidak semua orang merasakan hal yang sama. Macet, panas, sarana angkutan yang buruk, dan polusi udara menjadikan orang lebih memilih membawa kendaraan pribadi. Naik kendaraan umum sudah tidak senyaman dulu, paling tidak pada saat saya masih kuliah dan aktif bekerja. Jumlah penduduk urban Jakarta yang semakin meningkat mempengaruhi jumlah penggunaan kendaraan pribadi maupun umum. Yah begitulah, kita jadinya menemukan macet di mana mana.

Soal macet ini, saya trauma saat menggunakan mobil dan saat itu sedang ada pembangunan flyover. Terjebak 3 jam, padahal saat itu saya habis mengantar teman yang akan pulang ke Bogor ke stasiun terdekat. Guess what, dia tiba lebih dulu di Bogor, sedangkan saya masih menikmati jalanan yang padat itu. Setelah itu dan sampai hari ini, saya lebih baik menggunakan commuter line dan ojek online saja. Mau gimana lagi, hanya itulah satu-satunya transportasi yang masih layak (?).

Transportasi Lancar, Kualitas Hidup Meningkat

Wajah transportasi di Jakarta, sebetulnya sangatlah menyedihkan. Waktu lebih banyak dihabiskan di jalan. Bahan bakar terbuang percuma. Stress melanda setiap harinya. Hampir semua jalur di daerah Jakarta macet, bahkan di jalan bebas hambatan sekalipun. Tapi apa mau dikata, warga urban Jakarta semacam menyerah dengan takdir, pergi subuh pulang petang. Tidak ada yang bisa dilakukan. Berbagai metode sudah dijalankan, mulai dari angkutan busway, contra flow, ganjil genap, dan penggunaan uang elektronik di jalan tol. Yah tetap saja kita butuh solusi yang lebih baik. Bayangkan, jika memiliki sistem transportasi yang saling menunjang, kualitas kehidupan perkotaan tentunya akan jauh lebih baik.

Sayangnya, pengguna kendaraan pribadi khususnya mobil, merajai jalanan. Berapapun harga bensinnya, berapapun biaya masuk melewati jalan bebas hambatan, berapapun harga sewa parkir yang harus dibayar, sungguh itu bukan masalah brur. Asalkan tidak terkena panas matahari, debu jalanan, berebutan masuk saat naik kereta, jalan jauh untuk naik angkutan, sampai merasakan kondisi tidak nyaman di dalam angkutan. Padahal, mungkin kalau transportasi umum senyaman di Singapura, Korea, atau Jepang, pasti akan jauh lebih baik. Well, paling tidak, itulah yang saya rasakan saat mengunjungi dan mengamati sistem transportasi di ketiga negara tersebut.

Sampai hari ini, saya bahkan masih heran dengan negara Jepang. Penduduk Tokyo khususnya, hampir semuanya menggunakan transportasi umum. Jalur kereta, subway, dan bus, semua terintegrasi dengan baik. Anehnya, tidak ada satupun yang berebut tempat duduk. Padahal di jam sibuk, padatnya luar biasa. Selidik punya selidik ala saya, yang terjadi di Indonesia, kenapa tempat duduk menjadi persoalan adalah, karena tidak biasanya orang Jakarta berjalan kaki. Sehingga menjadi cepat lelah dan tidak terbiasa berdiri lama, hal inilah yang menjadikan kita manja.

Iyes, kita terlalu manja dengan transportasi yang ada. Mau naik ojek tinggal tunggu dan pesan dimana saja. Mau makan juga pesan online. Mau turun dari bus aja, bisa di sembarang tempat. Kita tidak terbiasa berjalan kaki untuk kegiatan sehari-hari. Ngga heran akhirnya banyak drama berebut tempat duduk dan dorong-dorongan saat naik kereta api.

Mengubah Kebiasaan Itu Berat Tapi Bukannya Tidak Mungkin

Ah masa karena masalah jalan kaki sih? Teori sederhana ini saya dapatkan saat mengamati perempuan Jepang yang naik kereta memakai heels. Iya, sepatu tumit tinggi. Padahal, jarak masuk stasiun mrt itu biasanya jauh. Apalagi kalau memang sehari-hari menggunakan mrt, pasti akan jalan berkilo-kilo jauhnya. Karena kita ngga bisa turun di sembarang tempat dan jalan kaki sudah menjadi budaya sehari-hari. Karena terbiasa jalan kaki itulah, mereka bisa menahan lelah, memiliki stamina yang stabil, dan tidak terobsesi mendapatkan tempat duduk karena fisiknya sudah kuat. Sesederhana itu.

Selain itu, budaya antri dan tertib sudah mengakar. Jalur untuk masuk kereta juga sudah disediakan, walaupun hanya berupa garis antri namun semua bisa rapi tanpa harus rebutan. Sehingga drama dorong-dorongan ingin cepat masuk dan mencari tempat duduk tidak terjadi. Budaya yang sudah mengakar di kehidupan sehari-hari ini didukung pula dengan sistem transportasi yang baik. Mulai dari jadwal yang lengkap dengan estimasi waktu, waktu menunggu yang tidak lama karena ketepatan waktu, sampai kapasitas yang cukup besar dalam sekali angkut. Itulah kenapa semua sistem dapat berjalan dengan baik. Karena antara budaya dan sistem saling mengisi dan melengkapi.

Kalau saja kita memiliki budaya antri yang baik, kebiasaan jalan kaki, sistem yang sudah terintegrasi, tentunya akan membawa perubahan kecil yang berdampak besar di kota Jakarta tercinta ini. Mulai dari hal sederhana, semacam tertib dalam antrian dan menyiapkan fisik serta mental, sehingga drama drama di kereta tidak akan terjadi lagi. Perubahan kecil ini, akan membawa atmosfer yang nyaman di angkutan umum. Sehingga apabila sudah menjadi kebiasaan dan tercipta kenyamanan, akan lebih banyak lagi yang menggunakan transportasi umum. Efeknya, mungkin udara Jakarta akan lebih bersih dan kita lebih sehat berjalan kaki karena menghirup udara yang segar.

Sistem transportasi yang terintegrasi, modern, dan nyaman sudah saatnya dibutuhkan. Walaupun sudah ada studinya sejak tahun 80an dan perencanaan serta pembangunannya terhambat masalah ekonomi politik, akhirnya mimpi memiliki MRT sudah di depan mata.

Siap #UbahJakarta Bersama MRT Jakarta

Sewaktu saya diundang di acara Selesainya Pembangunan Terowongan Bawah Tanah Fase I di bulan Februari 2017 lalu, saya speechless dan berdecak kagum melihat proyek MRT Jakarta. Sebagai mantan kuli konstruksi selama 7 tahun, proyek MRT inilah yang bikin saya nyaris menitikkan air mata. Buat saya, pembangunan MRT Jakarta adalah salah satu proyek terbaik dari segi teknologi yang ada di Indonesia. Karena tidak di darat atau laut, tapi di dalam tanah kedalaman 25 meter. Ya iyalah, baru ini aja kan ada proyek MRT hehehe. Itulah yang membuat saya semakin terpesona dengan proyeknya dan makin greget banget saat tahu ada perusahaan milik junior saya di Sipil, yang ikutan kecipratan dapat bagian proyeknya.

Setelah peresmian penyelesaian terowongan fase I oleh Pak Jokowi, tinggal menunggu waktu untuk menikmati transportasi modern dan pertama di Indonesia. Dijadwalkan beroperasi di Maret 2019, warga Jakarta sudah bisa menikmati jalur cepat dari Stasiun Lebak Bulus ke Bundaran HI. Jangan khawatir, kapasitasnya besar. Dalam sekali angkut, MRT memiliki 16 set kereta dan mampu mengangkut 1800 penumpang satu setnya. Jadi total sekali jalan mampu mengangkut 28.800 penumpang. Dalam sehari ada 173.400 total penumpang yang bisa diangkut. Wah, dengan jumlah penumpang yang besar ini, MRT sudah bisa disebut transportasi masal yang ideal.

 

Proses konstruksi MRT ini sama sekali tidak mudah dan biayanya juga sangat besar. 4 Bor yang memiliki diameter ± 6,7 meter, dengan total panjang ± 43 meter dan bobot mencapai ± 324 ton, bekerja semenjak September 2015 untuk membuat jalur terowongan bawah tanah koridor 1, yaitu dari patung senayan sampai bundaran HI. Di bulan Februari 2017 itulah seluruh pekerjaan pengeboran telah selesai, ditandai dengan bertemunya 4 bor tersebut. Sampai dengan 31 Juli 2017, progress proyek MRT ini sudah mencapai 76% secara keseluruhan. Terdiri dari kemajuan proyek stasiun layang 64 persen dan stasiun bawah tanah 88 persen. Kurang dari 2 tahun kita sudah bisa menikmati MRT, yeay!

Oia kalau ada yang bertanya-tanya, kira-kira banjir ngga ya. Jadi gini, sistem konstruksi lintasan stasiun didesain dengan menggunakan tunnel beton yang kecil sekali kemungkinannya air bisa masuk. Selain itu banjir yang disebabkan dari saluran air yang tidak lancar di bagian atas (bukan di dalam tanah), sudah diantisipasi dengan pintu yang tingginya 1,5 meter di atas permukaan jalan. Ditambah lagi pintu MRT ada sensornya. Sehingga pintunya akan otomatis menutup kalau ketinggian air sudah mendekati pintu. Ngga lupa, tentunya ada drainase juga yang disiapkan di dalam lintasan bawah tanah.

Sambil menunggu beroperasinya MRT, gimana kalau mulai membiasakan diri berjalan kaki lebih banyak setiap harinya. Sehingga kalau sudah saatnya, kita sudah siap naik turun tangga, jalan jauh ke stasiun, tertib antri masuk MRT, dan ngga cepat lelah yang memicu ingin mendapatkan tempat duduk, yang pada akhirnya terjadi drama hahaha. Dengan kapasitas yang besar dan jarak tempuh yang lumayan banget dari Selatan ke Pusat, mudah-mudahan pengendara kendaraan pribadi akan langsung ikut beralih menggunakan moda transportasi ini. Selain mengurangi kemacetan, menggunakan MRT berarti peduli terhadap kualitas udara di Jakarta loh. Yuk kita siap siap untuk #UbahJakarta bersama MRT Jakarta.

0 0 votes
Article Rating